Langsung ke konten utama

Yang Tersurat dari Prasasti Harinjing


Yang Tersurat dari Prasasti Hariñjiŋ


Bagian Depan (Recto)
swasti śakawarṣātīta 706 (=702) caitra;
māsa tithī  ĕka daśī śuklapakṣa wāra ha. wa. so. tatkā-;
la bhagawanta bārī (=dharī) i culaŋgi sumakyakan sīmā nira n mula awu-;
han gawai nira kali i hariñjiŋ hana ta lĕma apu bhi saŋ apati a;
tuha kamwah deni kali hineyan lĕma satamwah de bhagawanta bārī (=dharī)(Atmodjo, 1985:49-52)

Lafal di atas disadur dari uraian Prasasti Hariñjiŋ A (726 Śaka/804 Masehi) yang menjadi dasar penetapan harijadi Kabupaten Kediri hingga saat ini. Pandangan di atas disampaikan Drs. MM. Soekarto Karto Atmodjo (1985), seorang epigraf dari Universitas Gajah Mada dalam artikel “Sekitar Masalah Sejarah Kadiri Kuna”, yang diterbitkan Lembaga Javanologi dan Universitas Kadiri.

Apakah Prasasti Harinjing itu?
Kita perlu tahu dulu, apa itu prasasti? Kata “prasasti” berasal dari bahasa Sansekerta, praśāsti yang arti halfiahnya bermakna “puji-pujian”, dan arti secara luas adalah “piagam, maklumat, surat keputusan, undang-undang”. Menurut pemahaman kekinian, prasasti berarti huruf-huruf, kata-kata atau tanda-tanda konvensional yang dipahatkan pada bahan-bahan yang tidak mudah rusak, contohnya batu dan logam. Ilmu yang mempelajari prasasti disebut epigrafi (epigraphy) dan ahlinya disebut epigraf (epigraph).

Pada awal kemunculannya, prasasti dibuat untuk pujia-pujian kepada raja, yang disamakan dengan dewa, walau terdengar berlebihan, tapi itulah tujuan prasasti dibuat. Pada masa selanjutnya, isi prasasti lebih mengarah kepada peringatan suatu peristiwa, seperti peresmian sebidang tanah, pendirian bangunan suci, ekspedisi perjalanan dan sebagainya.

Demikian pula Prasasti Hariñjiŋ ini, prasasti ini terpahat pada sebuah batu andesit. Menurut laporan PV van Stein Callenfels (1934) dalam De inscriptie van Soekaboemi, prasasti ini ditemukan di Perkebunan Sukabumi, wilayah Kepung, Kediri. Beraksara dan berbahasa Jawa Kuna. Dengan ukuran panjang 75 cm; lebar 26 cm; tinggi 117 cm. Dan sekarang menjadi koleksi Museum Nasional di Jakarta, dengan nomor inventaris D 173.
Prasasti Hariñjiŋ (Dokumen Museum Nasional, Jakarta)
Prasasti Hariñjiŋ ini memuat 3 peristiwa sekaligus dengan angka tahun berbeda. Bagian Pertama, disebut Prasasti Hariñjiŋ A, yang tersurat pada bagian depan (recto) dengan banyak kekeliruan penulisan, terutama angka tahunnya tertulis berangka tahun 706 Śaka, sesuai pembacaan Callenfels. Kemudian direvisi oleh L. Ch. Damais dalam laporan penelitiannya bagian jilid I dengan judul “Etudes d'épigraphie indonésienne, Sub Bab III 'Liste des Principales Inscriptions Datees de I'Indonsie yang diterbitkan BEFEO (Perancis), menjadi tahun 726 Śaka. Isi bagian prasasti ini sesuai terjemahan lafal di atas, menyebutkan tentang pada tahun 726 saka bulan caitra, tanggal 11 (sebelas) paro terang, wara (hari): Hariyang-Wage-Soma; seorang pendeta di daerah Culaŋgi bernama Bhagawanta Dharī yang memperoleh hak sima atas daerah mereka karena telah berjasa membuat saluran sungai (tanggul kali) bernama Hariñjiŋ di sebidang tanah milik apu bhi, seorang apati atuha, yang telah tergenang aliran kali seluas satu tamwah akibat tanggul tersebut.  Bila keterangan pertanggalan tersebut dikonversi ke masehi, bertepatan dengan hari Senin Wage, tanggal 25 Maret 804 Masehi. Sehingga peristiwa ini sekarang dijadikan harijadi Kabupaten Kediri, sesuai bunyi pasal 1 surat keputusan Bupati Kepala Daerah Tingkat II Kediri pada tanggal 22 Januari 1985 nomor 82 tahun 1985 oleh pejabat Bupati Drs. Usri Sastradiredja saat itu.

Bagian Kedua, disebut Prasasti Hariñjiŋ B, yang tersurat pada bagian belakang (verso), tersurat: 
swasti śakavarṣātīta 843 
aśujimāsa tithi pañcadaśī śuklapakṣa wāra ha . u.
bu. nakṣatra uttarabhadrawāda. ahnibudhnadewatā dhṛwayoga ta- 
tkāla ajñā śrï mahārāja rake hyang dyaḥ tuloḍong

Menyebutkan bahwa pada tahun 843 saka, bulan aśuji tanggal 15 paro terang, wara (hari): Hariyang-Umanis-Budha; nakṣatra & dewata (bintang): uttarabhadrawāda, ahnibudhnadewatā; yoga (pergerakan bulan & matahari) dhṛwayoga; ketika śrï mahārāja rake hyang dyaḥ tuloḍong mengakui hak-hak pendeta di Culaŋgi karena mereka masih tetap harus memelihara saluran Hariñjiŋ. Bila pertanggalan tersebut dikonversi ke masehi maka bertepatan dengan hari Rabu Legi, tanggal 19 September 921 Masehi.

Bagian Ketiga, disebut dengan Prasasti Hariñjiŋ C, yang dimulai pada baris ke-23 bagian belakang (verso) hingga sisi kiri prasasti, menyebutkan tentang pada tahun 849 Saka, bulan caitra, tanggal 1, paro terang, wara (hari): Wās-Umanis- Budha; ketika anak Bhagawanta Dharī memperlihatkan anugerah dari seorang raja terdahulu yang telah meninggal di Twak, dan hak mereka tetap diakui. Secara pertanggalan masehi, peristiwa itu terjadi pada hari Rabu Legi, tanggal 7 Maret 927 Masehi.

Catatan panjang telah terukir dari sebuah batu Prasasti Hariñjiŋ, prasasti yang memperingati pendirian saluran air dan tanggul kali oleh Bhagawanta Dhari dan keturunan selanjutnya.

Nama Hariñjiŋ ini identik dengan salah satu nama sungai yang berhulu di Gunung Kelud, Sungai Srinjing kita mengenal namanya. Dan nama si pemrakarsa pembuatan saluran itu dikenal dan menjadi sebuah nama sungai yang juga berhulu di Gunung Kelud, Bhagawanta Dhari identik dengan Sungai Konto (Bhogowonto). Kedua sungai ini bermuara pada Sungai Brantas. Dan keduanya masih kita kenal hingga hari ini dan semoga hingga nanti.

Selamat Ulang tahun Kediri... udah yang ke-1213 tahun loh usiamu... 
Apakah berkah-mu se-lanjut usia-mu?

Komentar