Langsung ke konten utama

Situs Candi (Petirtaan) Kepung

Situs Candi (Petirtaan) Kepung


1. Lokasi dan Stratigrafi
Situs Jatimulyo terletak di dusun Jatimulyo, desa Kepung, kabupaten Kediri yang secara geografis terletak pada koordinat 7O 40I 20II LS dan 112 O 15I 35II BT dari meridian Jakarta. Jarak antara desa Kepung dengan kota Kediri sekitar 40 km, atau kurang lebih 20 km dari Pare.
Situs Jatimulyo ditemukan pada tahun 1983, berupa bangunan petirtaan yang ada di halaman rumah Bapak Sukemi. Bangunan ini semuanya tertutup tufa vulkanik hasil erupsi Gunung Kelud. Menurut Bammelen (1949), Gunung Kelud dengan ketinggian 1731 m termasuk dalam Zona Solo yang terbentuk dari sederetan besar kelompok Vulkan Kuarter dengan dataran antar pegunungan dimulai dari Sundoro dan Sumbing (Jawa tengah) hingga Arjuno (Jawa Timur). Gunung Kelud merupakan gunungapi yang bercirikan lahar panas dan dingin. Morfologinya tidak teratur, terdapat pundak-pundak tajam dan lembah-lembah yang curam. Oleh karena itu erosi yang kuat maka hanya material yang keras, seperti batuan andesit yang masih tertinggal. Aktivitas Gunung Kelud telah dimulai sejak abad IX dan terakhir tahun 2014. Kegiatan erupsi Gunung Kelud telah beberapa kali mengakibatkan jatuhnya manusia dan hewan (Kusumadinata 1979, 281). Sehingga karena keletakan situs dengan Gunung Kelud sekitar 18,75 km, maka saat ditemukan bangunan petirtaan tersebut tertutup endapan vulkanik pada kedalaman 5-6 m.
(Dok. Pribadi RHS 1997)
Pengamatan terhadap stratigrafi yang menutup situs Jatimulyo telah dilakukan Tony Djubiantono (1984), yang menunjukkan bahwa sedimen yang menutup situs terdiri dari 4 (empat) stratigrafi yang merupakan satuan batuan lahar vulkanik. Gambaran urutan strata dari bawah ke atas sebagai berikut :
• Lapisan I, terdiri dari tufa vulkanik berwarna abu-abu ukuran butir sangat halus dan sangat kompak. Di beberapa tempat banyak mengalami proses oksidasi yang berwarna kemerahan, sedangkan struktur sedimen tidak tampak. Pada lapisan ini dijumpai subfosil vertebrata dari jenis Bovidae dan beberapa pecahan keramik asing. Tebal lapisan diperkirakan 1 sampai 1,20 m;
• Lapisan II, terdiri dari kerakal, kerikil, batu apung dan andesit dengan ukuran butir 1-15 cm, bentuk butir sudut menyudut tanggung, endapan tuidak kompak dengan struktur sedimen silang siur. Tebal lapisan diperkirakan 1 sampai 1,50 m;
• Lapisan III, terdiri dari tufa vulkanik, berwarna abu-abu kekuning-kuningan, tidak begitu padat, ukuran butir halus sampai pasir, struktur sedimen tidak begitu jelas dan beberapa bagian banyak mengalami oksidasi yang kemerah-merahan. Ketebelan lapisan diperkirakan 1,5 sampai 2 m;
• Lapisan IV, terdiri dari kerikil batuan andesit dan batu apung dengan ukuran butir 1-10 cm, bentuk butir menyudut tanggung sampai membundar tanggung, tidak kompak dan struktur sedimen memperlihatkan silang siur. Ketebelan lapisan diperkirakan 1 sampai 1,5 m (Djubiantono 1984, 69-75).
(Dok. Puslit Arkenas 1990)

Berdasarkan identifikasi stratigrafinya, Sunarto (1990) memperkirakan bahwa jenis proses geomorfik yang bekerja disusun atas material tanah, pasir, kerikil dan abu vulkanik, yang tidak menampakkan adanya kompaksi dan sementasi. Lebih jauh diidentifikasi bahwa lapisan m pada kotak H-4 merupakan lapisan tanah yang telah berkembang. Hal ini dapat diketahui bahwa lapisan tersebut telah mengalami agregat sehingga telah terbentuk struktur tanah, meskipun dalam keadaan rusak. Teksturnya pun sudah menunjukkan perkembangan yaitu geluh lempung berpasir dan konsistensinya gembur. Sehingga lapisan m adalah tanah asli yang kini telah terpendam (buried soil). Terdapat 2 lapisan yang terjadi dari material abu vulkanik dengan ketebalan sekitar 15 cm. Kondisi ini menandakan bahwa letusan Gunung Kelud berupa hujan abu yang sangat tebal dan juga mengeluarkan pasir setebal sekitar 10 cm. hal ini menunjukkan telah terjadinya letusan hebat. Letusan Kelud yang hebat itu terjadi pada tahun 1334 dan tahun 1376 yang menimbulkan korban jiwa (Sunarto 1990, 116).
Ada 2 Sisipan terjadi dari material pasir-kerikil dan juga berupa pumice. Hal tersebut menunjukkan letusan yang hebat pula. Letusan yang hebat itu terjadi pada tahun 1586, menimbulkan korban sekitar 10.000 jiwa. Sehingga diperkirakan bahwa lapisan S4 dan S3 itu terjadi pada tahun 1586. Gunung Kelud meletus hebat kembali tahun 1901 dengan letusan sekitar 2 juta m3. Letusan itu diperkirakan membentuk lapisan S2 dan S1 yang terjadi dari material debu berpasir dan pasir berdebu (Sunarto 1990, 116).
2.1. Temuan Bangunan
2.1.1 Identifikasi Temuan Bangunan Ekskavasi Tahun 1983-1989
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh bidang Arkeologi Klasik, Puslit Arkenas, dari 29 kotak hasil ekskavasi menemukan struktur bangunan berupa bangunan petirtaan yang terdiri dari :
a) Batur dengan menara-menara;
Batur ini berukuran 3,69 m x 3,69 m, dan tinggi 1,50 m. Menara yang berada di atas batur ini seluruhnya berjumlah 9 buah, terdiri dari menara pusat yang dkelilingi 8 menara lainnya. Menara yang terletak di sudut berukuran paling kecil.
b) Kolam
Ukuran kolam ini adalah + 12 m x 12 m, yang mengelilingi batur bermenara, dengan posisi batur tidak tepat di tengah kolam, tetapi agak ke belakang. Pada sudut timur laut terdapat lantai bata, tetapi pada bagian lain dasar kolam berupa tanah saja.
c) Dinding Petirtaan
Dinding petirtaan bentuk bertingkat-tingkat, makin menjauh kolam makin tinggi letaknya. Pada beberapa tempat tampak antar dinding terdapat selasar tanah. Sampai dengan ekskavasi 1989 telah ditemukan 4 tingkat dinding.
d) Pintu
Pintu masuk terletak di sisi barat bangunan petirtaan, bagian pintu masuk yang sudah ditemukan adalah anak tangga dan pipi tangga sebelah utara. Yang tersisa hanya amak tangga bagian bawah yang ditemukan pada kedalaman +4 m, sedangkan anak tangga nagian atas dan pipi tangga sebelah selatan sudah runtuh atau habis dibongkar.
    Dari 8 menara yang masih hanya 1 menara yang masih utuh dan tegak berdiri, yaitu menara tengah pada sisi utara. Menara lainnya tidak utuh lagi dan 2 diantaranya runtuh karena patah pada bagian badan menara. Menara-menara ini berbentuk seperti candi, mempunyai bagian kaki, badan dan atap. Bagian kaki mempunyai profil lengkap seperti pelipit bawah yang rata, bingkai sisi genta, di atasnya bingkai rata lagi. Badan berupa batang yang rata. Atap bersususn makin mengecil dan berhias simbar-simbar kecil. Pada sudut-sudut batur terdapat pancuran air berbentuk makara (makara jaladwara).
(Dok. Puslit Arenas 1990)

Diperkirakan pada masing-masing sisi batur juga terdapat pancuran serupa, ini diketahui dari lubang bekasnya pada sisi barat. Berbeda dengan batur dan menara-menaranya yang dibuat dari bata, pancuran air tersebut dari batu. Dan telah ditemukan 3 pancuran air yaitu yang terdapat di sudut timur laut, barat laut dan barat daya (Soekatno, 1989).
2.2. Temuan Non Bangunan
2.2.1 Identifikasi Temuan Sisa Fauna Ekskavasi Tahun 1983-1989
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Puslit Arkenas terhadap 29 kotak galian untuk hasil ekskavasi tahun 1983 – 1989 hanya 17 buah kotak galian yang mengandung temuan sisa fauna. Sisa fauna yang ditemukan umumnya pada lapisan tufa vulkanik. Temuan sisa fauna tersebut dapat digolongkan dalam filum Chordata, dan ditemukan berasosiasi dengan gerabah, keramik ataupun struktur batu bata petirtaan.
Pada umumnya sisa fauna ditemukan dalam keadaan tidak utuh, fragmentaris dan sangat rapuh. Bahkan beberapa fragmen tulang ditemukan masih melekat pada teras struktur bangunan petirtaan. Kondisi tulang yang sangat rapuh ini disebabkan sifat tanahnya yang masam, dengan derajat keasaman (pH) berkisar 5,9 – 7 pH. Hal ini menyebabkan cepatnya proses pembusukan dan penghancuran sisa fauna.Ciri khusus yang menunjukkan adanya kaitan perilaku konsumsi pangan hewani sama sekali tidak ditemukan, seperti bidang pecah pada tulang yang berbentuk cekungan tidak beraturan, merapatnya tekstur pori-pori serat tulang, maupun tulang yang terbakar. Pada beberapa tulang ditemukan bekas gigitan hewan pengerat. Selain itu beberapa tulang pipa mengalami perubahan bentuk asal, terutama pada bagian tonjolan (distal, proximal).
Berdasarkan hasil analisa sebaran taksa sisa fauna yang ditemukan pada lapisan tufa vulkanik terdiri dari fragmen tulang dan gigi. Gigi yang ditemukan terdiri dari gigi taring (canine), gigi seri (incisivus) dan gigi geraham (molar, premolar). Gigi tersebut berasal dari suku Bovidae, Suidae dan Canidae. Beberapa diantaranya diperkirakan terdiri dari jenis kelamin betina pada suku Suidae, serta dengan umur dewasa dan anak-anak pada suku Bovidae.
Adapun fragmen tulang yang ditemukan berasal dari Bovidae (sapi dan kerbau), Suidae (babi), Canidae (anjing), Capridae (kambing), Hystricidae (landak), Chelonidae (kura-kura atau penyu), dan kelas Aves (ayam). Umumnya jenis tulang yang ditemukan berasal dari anggota gerak, dan gelang anggota gerak. Jenis tulang anggota gerak meliputi: humerus, femur, radius, ulna, tibia, metacarpus, metatarsus dan phalanges. Sedangkan yang termasuk gelang anggota gerak meliputi jenis tulang belikat dan pelvis.
(Dok. Puslit Arenas 1990)

Jenis tulang berupa rahang bawah maupun atas, belikat dan pinggul merupakan temuan yang dominan dari suku Bovidae, Suidae maupun Capridae dalam bentuk fragmentaris dan rapuh. Beberapa sisa tulang tersebut dapat direkonstruksi dan dibedakan bagian anggota badan kanan maupun kiri, sehingga dapat diperhitungkan kuantitas minimum individu (MNI) dapat diperoleh. Perkiraan jumlah individu berdasarkan jenis tulang yang ditemukan adalah Bovidae 17 ekor, Suidae 3 ekor, Capridae 1 ekor, Canidae 1 ekor, Hystricidae 1 ekor, Chelonidae 1 ekor dan Aves 1 ekor (Aziz 1990, 88-89).
2.2.2 Identifikasi Temuan Gerabah & Keramik Ekskavasi Tahun 1983-1989
     Dalam ekskavasi situs Jatimulyo tahun 1983-1989, temuan yang paling dominan disamping fragmen tulang adalah fragmen gerabah. Dari 29 kotak yang digali, telah dikumpulkan sebanyak 2.694 buah fragmen gerabah, baik kasar dan halus, yang ditemukan pada 21 kotak galian. Dari 21 kotak galian itu, temuan terpadat terletak pada kotak I-7, H-5, G-2, J-8, H-6 dan F-6. Temuan-temuan tersebut kebanyakan terletak antara spit 1 hingga spit 7. Sementara temuan yang paling dalam mencapai spit 15. Temuan-temuan gerabah tersebut dapat dikelompokkan secara garis besar dalam 2 jenis, yaitu gerabah kasar dan gerabah halus. Fragmen yang ditemukan meliputi tepian, badan, dasar, fragmen tutup, cerat dan sebagian tak diketahui karena sudah aus.
(Dok. Puslit Arenas 1990)

Analisis tipologi berhasil mengidentifikasi sejumlah bentuk wadah dan non wadah dari fragmen gerabah kasar, meliputi pasu, tempayan, periuk, kendi, mangkuk dan tutup. Dan dari jenis gerabah halus diketahui adanya jenis-jenis mangkuk dan kendi. Gerabah-gerabah kasar secara umum pembakarannya kurang sempurna, juga pemilihan bahannyajuga kurang baik sehingga terlihat kasar, hitam pucat serta porositasnya tinggi. Sedangkan gerabah halus dibuat dari bahan dan pembakaran yang berkualitas bagus, sehingga tampak merah cerah dan keras.
     Sedangkan temuan keramik terdapat pada 19 kotak galian dengan fragmen sebanyak 576 buah fragmen keramik. Temuan tersebar pada spit 1 hingga spit 16 pada kedalaman 8m. Sebagian besar temuan keramik terletak pada bagian timur atau di sekitar dinding ɪ petirtaan. Secara tipologi, bentuk-bentuk fragmen keramik yang ditemukan meliputi mangkuk, piring, guci, buli-buli, cawan, vas dan kendi. Temuan keramik yang dominan adalah bentuk mangkuk, sekitar 75% dari seluruh temuan. Bentuk kendi hanya terdapat pada fragmen keramik yang memiliki temper halus dengan glasir transparan, umumnya berwarna merah.
(Dok. Puslit Arenas 1990)

Temuan fragmen keramik asing tidak banyak memiliki variasi warna. Untuk sebagian besar temuan berwarna hijau, putih, abu-abu, putih kebiruan, hijau kecoklatan dan coklat kehitaman. Menurut asal keramik, temuan keramik didominasi keramik asing dari China, sebagian kecil lainnya dari Thailand dan Eropa. Dan ditinjau dari kronologinya dapat diperkirakan bahwa hampir seluruh temuan keramik berasal dari Dinasti Sung (abad X-XIII) hingga Yuan (XIII-XIV). Sehingga rekonstruksi periodesasi aktivitas budaya yang berada di sekitar situs Jatimulyo merupakan hasil budaya masyarakat yang berkembang pada kurun waktu abad X-XIV.
3. Penutup
Peninggalan purbakala adalah warisan budaya nenek moyang yang berperan dalam menelusuri kehidupan masyarakat masa lampau dan tidak dapat diperbaharui serta mudah rusak, maka harus ditangani secara terpadu agar tetap terjaga keaslian dan kelestariannya. Selain sebagai obyek penelitian, apabila dimanfaatkan sebagai sumber daya budaya secara serius dan terkoordinasi secara baik, nantinya akan dapat digunakan sebagai obyek pariwisata budaya. Hingga hari ini Situs Candi Kepung (Situs Jatimulyo) telah ditimbun kembali, maka semua dokumentasi penelitian yang telah dilakukan wajib untuk dipelihara, disebarluaskan dan mudah-terbuka untuk memperolehan informasi hasil penelitian. Arkeologi bukanlah ilmu yang ekslusive, kebebasan untuk semua orang yang menuntut ilmu pengetahuan.
-------------------------------
Aziz, Fadhila Arifin. 1990. “Deskripsi dan sebaran Sisa Hewan di Situs Kepung”, BPA 40:86-92.
Bemmelen, RW. Van. 1949. Geology of Indonesia.
Djubiantono, Tony. 1984. Laporan Geologi Daerah Jatimulyo, Kediri, Jawa Timur.
Kusumadinata, K. et. Al. 1979. Data Dasar Gunungapi Indonesia.
RHS. 1999. Domestikasi Hewan Pada Masyarakat Agrikultur di Gunung Kelud: Kajian Berdasarkan Temuan Sisa Fauna dan Relief Candi Masa Majapahit. Skripsi. Universitas Udayana (tidak diterbitkan).
Soekatno, Endang SH. 1989 “Candi Kepung, Arsitektur Masa kadiri?” PIA V; IIA: 53-71
Sunarto. 1990. “Analisis Stratigrafi Situs Arkeologi Kepung Kabupaten Kediri, Jawa Timur”, BPA 40:112-118.

Komentar