Langsung ke konten utama

perdhikan lurah i wetan daha

Perdhikan lurah i wetan daha

Perjalanan pulang Raja Hayam Wuruk dari Palah…

Menurut uraian Nagarakrtagama (Desawarnana) menyebutkan dalam Pupuh 61:2 memberikan penjelasan perjalanan Raja Hayam Wuruk menuju ke selatan Blitar :
ndan ri çakha tri tanu rawi riɳ weçaka, çri natha muja mara ri palah sabhrtya, jambat siɳ ramya pinaraniran / lanlitya, ri lwaɳ wentar mmanuri balitar mwaɳ jimbe (Kern 1919).

Menyebutkan Raja Hayam Wuruk (çri natha) pada Tahun Saka 1283 (tiga badan dan bulan) Bulan Waisaka, baginda raja berangkat menyekar ke Palah, kemudian mampir ke Lawang Wentar, Balitar dan Jimbe.

Kemudian pada uraian pupuh berikutnya, Pupuh 62:2 menyebutkan :
çri narapaty amargga ri jukuɳ jo yanabajran / pamurwwa, prapta raryyan i bajralaksmin amgil / ri çurabhane sudarmma;

Pada saat pulang dari Palah (Ribut Palah), Raja Hayam Wuruk (çri narapaty ) mengambil jalan Jukung, Jnanabajra terus k timur, berhenti di Bajralaksmi dan bermalam di pedharmaan Surabhana (=Surowono)(Sasongko, 1999:141).

Memperhatikan uraian di atas bahwa antara Komplek Candi Penataran dengan Candi Surowono sangatlah penting dalam perjalanan keliling Raja Hayam Wuruk ke pelosok Jawa Timur. Begitu pula dengan candi-candi lain yang ada di sekitar 2 bangunan tersebut, termasuk Candi Tigowangi yang dekat dengan Candi Surowono di wilayah Kediri.

Seberapa pentingkah daerah2 swatantra tersebut?

Kita beranjak ke masa sebelum Majapahit hadir, menurut Prasasti Harinjiɳ A (804 M) menyuratkan :
swasti sakawarsatita 726 caitra;
masa tithi ekadasi suklapaksa wara ha. wa. so. Tatka;
la bhagawanta bari I culaŋgi sumaksyakan simaniran mula dawu;
han gawainira kali i harinjiŋ hana ta lmah dapu bhi saŋ apatih a;
tuha kambah deni kali hineyan lmah satamwah de bhagawanta bari… (Atmodjo, 1985:49-52).

Prasasti Harinjiɳ (Museum Nasional)

Prasasti yang pada bagian sisi belakang (verso, Harinjiɳ B) berangka tahun 843 Saka dan dikeluarkan atas perintah Sri Maharaja Rake Layang Dyah Tulodhong mengukuhkan pemberian sima swatantra dari raja sebelumnya kepada Bhagawanta Bari dari Culaŋgi atas pembangunan bendungan di Sungai Harinjiŋ pada hari Senin tanggal 11 paro terang bulan Caitra (=25 Maret 804 M).

Bisa anda bayangkan potensi daerah sima tersebut pada masa pemerintahan Mataram Kuna (Jawa Tengah) di daerah pertanian lembah antara Sungai Harinjiŋ dan Sungai Konto. Nama besar Bhagawanta Bari sekarang identik dengan nama sungai tersebut (Sasongko, 1999:191).

Di antara kedua Sungai inilah terhampar persawahan-persawahan sima pedharmaan Tigawaŋi dan Surabhana. Seperti uraian Nagarakrtagama pada Pupuh 82:2 :
sri nathe siŋhasaryyanaruka ri sagala dharmma parimita; sri natheŋ weŋker iŋ surabhana pasuruhan lawan tan I pajaŋ; buddha distana tekaŋ rawa ri kapuluŋan mwaŋ locanapura; sri nathe watsarikaŋ tigawaŋi magawe tusteŋ para jana (Pigeaud, 1960:63).

Pada Era Pertanian Masa Majapahit sudah dikenal tindakan optimalisasi usaha perluasan tanah pertanian untuk meningkatkan produksi hasil pertanian. Dari uraian di atas disebutkan Sri Nata Weŋker (Bhre Weŋker) membuka hutan Surabhana Pasuruan dan Pajaŋ, mendirikan pula perdhikan Buddha di Rawi, di Kapuluŋan dan Locanapura. Sedangkan Raja Hayam Wuruk sendiri membuka ladang Watsari di Tigawaŋi (Sasongko, 1999:154).

Candi Surowono (Photo: Holt #495)
Candi Tegowangi (Photo: Candi Indonesia)

Perluasan Tanah Pertanian di Tigawaŋi dan Surabhana mendorong untuk meningkatkan secara optimal teknologi pengairan. Hal ini tersurat dalam uraian Prasasti Kusmala (= Kandangan) 1350 M berikut :
swasti cakawarsatita 1272 margasiramasa thiti pancadasi suklapaksa;
ma. wa. a. wara pahang, irika diwasa ni kasampurnnanikanaŋ dawuhan silamat i ;
kusmala di rakryan demuŋ saŋ martabun raŋga sapu, maka maŋgala rakaki ŋamurwwa;
bhumi, mapariwara raŋga hawarawar, ju…. saŋ apanji pupon makana saŋ ajna;
paduka batare matahun sri batara wijayarajasanantawikramotuŋga;
dewa, jagaddhitahetu, magawaya sukani parasamya sakahawat lurah;
wetan i daha… (Machi Suhadi & Richadiana K, 1996: 38-39)

Campur tangan penguasa atau raja dalam bidang pertanian yang sudah sejak lama di Jawa, terutama sekali ditujukan pada usaha-usaha yang berhubungan dengan pembuatan maupun perbaikan sarana irigasi. Tersurat dalam Prasasti Kusmala di atas yang dikeluarkan pada tanggal 15 paro terang Bulan Margasira Tahun Saka 1272 atas perintah Paduka Batare Matahun Sri Batara Wijayarajasanantawikramotuŋgadewa yang menjadi kesejahteraan bumi dan mengusahakan kebahagiaan penduduk desa di sebelah timur Daha (wetan i daha). Prasasti ini menandai sempurnanya pembangunan dawuhan cilamat di Kusmala oleh Saŋ Apanji Pupon dan diresmikan oleh Rakryan Demuŋ Saŋ Martabun Raŋga Sapu.

***Artikel ini ditulis dalam rangka ‘pengantar perjalanan kunjungan situs ke lurah i wetan daha’, Mahasiswa Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial & Hukum UNESA, Surabaya

Kepustakaan :
Atmodjo, MM. Sukarto K. 1985. Sekitar Masalah Sejarah Kadiri Kuna;
Kern, H., 1919. “De Nagarakrtagama, oudjavaansch lofdischt op Koning Hayam Wuruk van Majapahit”, dalam VG 7;
Machi Suhadi & Richadiana K. 1996. Laporan Penelitian Epigrafi di Wilayah Provinsi Jawa Timur No. 47;
Pigeaud, Theodore G. Th. 1960. Java in The 14th Century: A Study in Cultural History. Vol I;
Sasongko, RH. 1999. Domestikasi Hewan Pada Masyarakat Agrikultur di Gunung Kelud: Kajian Berdasarkan Temuan Sisa Fauna dan Relief Candi Masa Majapahit. Skripsi (belum diterbitkan). Univ. Udayana.

Komentar